REUNI KATA

Selamat datang!

Baiklah. Ini adalah tulisan pertama setelah sekian lama tidak menulis. Entah setan apa yang kembali merasuki sehingga hari ini saya kembali mencoba bermain dengan keyboard, tapi dengan tujuan yang berbeda.

Tulisan pertama ini adalah “Reuni Kata”. Dulu saya memang sangat mencintai kata. Mereka tidak hanya sahabat yang bisa diajak curhat, mewakili perasaan. Namun, kata-kata juga sangat berjasa membuat saya bisa menjadi seorang sarjana.

Reuni kata dimulai saat Sekolah Dasar dulu. Majalah Bobo adalah cinta pertama. Tidak ada yang lebih deg-degan dibanding menunggu dia datang di toko buku dengan tampilan baru. Tapi, ada banyak rintangan dengan cinta pertama ini. Membacanya setelah datang di toko buku bukanlah perkara yang mudah, saya harus menunggu giliran terlebih dahulu. Ya, maklum lah, namanya juga anak SD, majalah Bobo bukanlah sesuatu yang murah. Kita harus mengumpulkan teman-teman terlebih dahulu. Bahasa sederhananya adalah patungan. Jadwal membaca digiliran setiap waktu.

Beranjak beberapa tahun kemudian, saat mengenal puisi pada pelajaran Bahasa Indonesia, saya paham kalau kata-kata bisa diajak berteman. Saya menyukai kala puisi adalah bagian dari ekpresi jiwa. Sejak saat itu, saya diam-diam bermain dengan puisi di balik halaman belakang buku catatan, menulis apa saja yang dilihat, dirasakan, atau yang ingin disampaikan.

Kebiasaan ini berlanjut sampai SMP hingga SMA. Bahkan, saya pernah “dibayar” oleh kakak kelas membuatkannya puisi kepada pujaan hati yang sedang dikaguminya. Ya, saya tentu bersedia dengan bayaran ditraktir makan siang.

Tidak hanya menyukai puisi, pelan-pelan saya diam-diam belajar membaca puisi. Tidak ada yang lebih bahagia dibanding membaca puisi sendiri. (Kita mungkin membahas bagian ini kalau sempat menulis pada tulisan selanjutnya).

Sampai dengan kelas 2 SMA, ketika Padang Book Fair, saya mampir di salah satu stand yang namanya P’mails. Saya menemukan rumah disitu rasanya, ketika mencoba membolak-balik halaman demi halaman tabloid pelajar itu. Saya memberanikan diri melamar menjadi reporter sekolah disitu dengan mencoba mengirim contoh tulisan. Dan kemudian saya dipanggil untuk bisa “bekerja” menjadi reporter sekolah.

Di P’mails pula saya berkenalan dengan penuils muda yang sangat berbakat, menjadi guru untuk setiap tulisan yang saya tulis. Berbagi pengalaman tentang menulis. Tentu sangat bahagia rasanya menunggu hari Minggu datang, membaca tulisan yang telah terbit, mencoba membandingkan dengan tulisan asli yang sebelumnya ditulis. Begitu pelajaran sederhananya, lihat hasil terbitan, begitu cara mulai belajar meningkatkan kemampuan menulis, EYD dan lain sebagainya.

Selain melihat tulisan terbit, hal yang lebih membahagiakan lainnya adalah setelah awal bulan. Kita bisa mendapatkan honor dari tulisan menulis pada bulan sebelumnya. Sekretaris redaksi akan menghitung dan mengkalkulasikannya, kemudian menyerahkan beberapa pecahan uang kertas yang pada saat itu bisa digunakan membeli buku. Ya, sejak saat itu saya suka menghabiskan pulang sekolah ke Gramedia untuk memilih buku yang sesuai dengan selera. Jika sebelumnya, hanya bisa membaca buku di perpustakaan daerah dan meminjamnya beberapa hari untuk dibawa pulang.

Karena menyukai kata-kata, saya mendapat informasi beasiswa ketika masuk kuliah. Ya, saya memastikan diri menjadi mahasiswa dengan jurusan Jurnalistik. Kemudian tahun kedua, juga ditawari menjadi reporter di sebuah koran lokal, dengan bayaran lumayan untuk menambah uang kuliahh. Singkat cerita, saya kuliah sambil kerja dengan menjadi pewarta.

Pekerjaan menulis kata tetap berjalan, selain dibayar rutin dengan tugas bulanan, saya juga menyempatkan diri menulis puisi, cerpen, artikel dan beberapa tulisan lainnya dengan imbalan yang lumayan untuk menambah uang beasiswa. Hingga lulus kuliah pun, karena kata-kata pula lah, saya dapat menyelesaikan skripsi dengan waktu yang singkat.

Lantas, alasan apa yang membuat saya melupakan kata-kata bertahun lamanya. Bukankah kata-kata adalah bagian dari saya? Ya, mudah-mudahan sejak saat ini, saya kembali mencintai kata-kata. Meskipun agak sulit memulai bermain kata, kesulitan untuk menulis dengan baik, tapi bisa jadi reuni kata ini jadi pembuka menjadi sahabat kata. Semoga saja.

 

Kemayoran, 18 April 2020

Meninggalkan komentar

Jika Harus Berpisah

SEBUAH hukum alam, setiap pertemuan pasti diakhiri dengan perpisahan. Kenyataannya memang seperti itu. Pertemuan terkadang menjadi sebuah hal yang tidak mengenakkan. Kenapa harus berpisah?

Entah kenapa, ketika mendengar kata pisah raut wajah selalu berubah berkerut dan air mata selalu ingin keluar. Perasaan sedih jelas datang begitu saja ketika kata pisah itu terucap. Tapi, bisa apa? Semua harus seperti itu, perpisahan itu memang harus terjadi. Berpisah sudah menjadi hal yang lumrah terjadi dalam hidup. Ketika lulus sekolah kita mesti berpisah dengan teman-teman sekelas. Bahkan jika ada yang memilih kuliah di luar kota juga mesti harus berpisah dengan keluarga. Perpisahan memang sebuah pilihan yang harus dijalani.

Bapisah, bukannyo bacarai, ungkapan ini seakan menjadi motivator dalam menghadapi perpisahan yang terjadi. Lagu Minang yang satu ini menjadi ngetop saat dilangsungkan acara perpisahan di sekolah dan di tempat lainnya.

Bapisah bukannyo bacarai menjelaskan jika perpisahan itu tak perlu disesali. Artinya, perpisahan tidak menutup jalan untuk tetap melakukan komunikasi, melakukan hubungan silahturrahmi satu dengan yang lainnya. Lantas bagaimana dengan rasa yang sempat tertumpah?Apakah harus begitu saja hilang?

Perpisahan memang merupakan hilangnya wujud suatu benda atau orang se¬hingga kita tak bisa lagi melihat dengan jelas bagaimana rupa orang tersebut sebagaimana yang sering kita lihat. Namun, rasa tak bisa dibohongi, rasa itu akan tetap melekat sampai kapanpun walaupun dipisahkan oleh jarak, ruang waktu bahkan dipisahkan oleh dunia yang berbeda.

Mengenang mungkin hal yang pantas dilakukan untuk kembali membangun rasa itu. Bagaimana mencoba mengingat kembali kenangan saat-saat bersama, ketika sama-sama tertawa, sama-sama menangis. Kenangan tersebut akan memberikan kekuatan baru untuk bertemu dengan perpisahan. Mengenang juga akan menimbulkan rasa rindu. Rasa rindu itu pula lah yang membuat perpisahan menjadi semakin berarti. Ketika pernah rindu berarti telah membuat berpisah menjadi suatu hal yang yang tidak menyakitkan lagi. Sebab, rindu akan membangkitkan kembali rasa yang tertinggal. Namun, apakah rindu harus dibayar dengan pertemuan? Mungkin tidak, sebab ketika pertemuan tidak berhasil maka bisa kembali pada rencana awal yaitu mengenang.

Bagaimanapun, hukum alam jika perpisahan itu harus terjadi memang harus dilaksanakan. Hanya saja, kita harus percaya jika semangat atau rasa itu suatu saat bisa tumbuh kembali oleh ruang dan waktu yang berbeda. Perpisahan hanyalah suatu masa yang terputus yang membuat kuta harus menyerahkan rasa yang sempat ada.

Padang, Januari 2010

Dipublikasi di Catatan | 3 Komentar

Tiga tokoh dapat Penghargaan dari Iluni IAIN

Padang- Reuni Akbar IAIN Imambonjol Padang tak hanya menjadi ajang temu kangen dengan alumni. Namun, pada acara malam temu kangen yang diadakan pada Sabtu (23/04) Malam, di Palanta Walikota Padang, Ikatan Alumni (ILUNI) IAIN IB  juga memberikan penghargaan dalam tiga kategori.

Penghargaan pertama diberikan kepada non alumni IAIN IB yang telah berjasa untuk melakukan tugas yang semestinya dilakukan oleh alumni IAIN. Penghargaan pertama ditujukan kepada Walikota Padang, Dr H Fauzi Bahar, M.Si yang telah berjasa menciptakan suasana religius di kota Padang. Selanjutnya, penghargaan kedua diberikan kepada Romeo Rizal pandji Alam, selaku pimpinan Bank Indonesia (BI) cabang Padang yang telah berjasa menciptakan dan menerapkan sistem Ekonomi Syariah. Sedangkan untuk tokoh ketiga yang menerima penghargaam adalah Walikota Jakarta Selatan, H Syahrul Efenddi, SH, MM selaku tokoh Gerakan Sosial Orang Rantau (Gesor)

Dalam pertemuan itu juga diberikan penghargaan kepada mantan dosen di lingkungan IAIN yang tidak mengajar lagi secara formal. Masing-masing fakultas diberikan satu dosen. Dari fakultas Adab penghargaab diberikan kepada Dr. H Nukman. Dari fakultas dakwah diberikan kepada Drs H Nazaruddin. Sementara dari Fakultas Tarbiyah pengharhaan diberikan kepada Dra Hj Nusfa. Selanjutnya dari fakultas Syariah penghargaan diberika  kepada Prof Dr H Amir Syarifuddin dan Prof Dr H Fauzan Mishra El Muhammadi dari fakultas Adab.

Selain penghargaan tokoh non IAIN dan dosen, alumni juga memberikan penghargaan kepada mahasiswa berprestasi yang juga berasal dari kalangan aktifis kampus. Masing-masing fakultas diberikan satu orang mahasiswa yang berhak menerima penghargaan.

Sementara itu, Fauzi Bahar, dalam memberikan sambutannya menuturkan jika ia memiliki kekuatan emosional yang tinggi dengan institusi IAIN Imam Bonjol. Dalam sehari itu saja (Sabtu red) Fauzi Bahar tiga kali datang ke IAIN. Yang pertama dalam rangka memberikan seminar pada pembukaan acara alumni, selanjutnya melantik anggota resimen mahasiswa dan juga menghadiri acara temu kangen pada Sabtu lalu.

Sedangkan Rektor IAIN Imambonjol Padang juga mengucapkan terima kasih kepada tokoh dan dosen yang telah mendapat penghargaan dari tiga kategori tersebut. Bagi Sirajuddin Zar, hal tersebut merupakan apresiasi dari alumni kepada tokoh, dosen purnawirawan dan mahasiswa. Dalam malam temu kangen tersebut turut hadir alumni IAIN yang juga telah berkiprah di tengah masyarakat seperti Anggota DPD, Emma Yohana, Anggota DPRD Sumbar Irdinansyah Tarmizi yang sekaligus ketua ILUNI IAIN dan beberapa tokoh lainnya. [fresti aldi]

Dipublikasi di Berita | Meninggalkan komentar

Band Jadul Yang Pernah Berjaya

Band Indonesia yang Populer Masa Lalu

Grup band seperti God Bless, Koes Plus, Panbers, Bimbo, The Favourite’s Group, D’lloyd, The Mercys, The Rollies, AKA memang terasa agak asing di telinga remaja hari ini. Sebab, mereka populer bukan pada zaman sekarang, melainkan jauh hari sebelum kita lahir. Kehadiran merekalah yang menjadi cikal bakal grup band di Indonesia hingga hari ini. Bagaimana ceritanya?

Agak sulit untuk mengungkapkan sejarah grup band di tanah air, sebab tak ditemukan data yang konkrit tentang awal muncul dan lahir grup band pertama di tanah air. Namun, dari data yang ditemukan, nama Idris Sardi (pemain biola sekaligus ayah kandung Lukman Sardi) disebut-sebut sebagai orang yang turut andil menciptakan kelahiran grup band beraliran pop di tanah air.

Diceritakan bahwa Idris Sardi pertama kalinya bereksperimen untuk mengarasemen lagu Sunda “Antosan” yang dinyanyikan oleh Lilis Suryani pada tahun 1964. Idris Sardi mencoba menggabungkan antara elemen musik kalsik dan musik pop dengan perpaduan orkestra. Perpaduan inilah awal cikal bakal kelahiran aliran band bergenre pop progresif.

Setelah nama Idris Sardi, juga muncul nama-nama lain yang ikut meramaikan band di tanah air pada masa silam. Mulai dari Rhapsodia, The Rollies, Giant Step, Harry Rusli, Rasela, The Rhythm Kings, AKA, SAS, Godbless, Superkid , Shark Move dan Favourite’s Group. Nama-namanya memang agak janggal di telinga remaja saat ini, namun pada masa silam, nama mereka menjadi buah bibir di era 70-an.

Di tahun 1975, Guruh Soekarno Putra dan anak-anak Gipsy mencoba untuk menawarkan musik band baru dengan menggabungkan unsur gamelan Jawa dengan unsur rock. Ini jauh berbeda dengan hal yang dilakukan Harry Roesli. Karena Harry Roesli mencoba untuk mentradisonalkan musik rock. Grup band Prambors Rasisonia juga membuat suatu revolusi baru dalam blantika musik Indonesia yaitu dengan menkreasikan gabungan musik pop, klasik dan rock.

Grup Band Koes Plus yang cukup populer pada zamannya dikenal sebagi pelopor lahirnya grup band dengan aliran pop dan rock n roll. Tak kalah uniknya, Panjaitan bersaudara atau Panbers meramaikan musik tanah air pada tahun 1969 yang personilnya merupakan kakak-beradik kandung keluarga Panjaitan.

Grup band D’LLoyd juga tak kalah populernya di era 70-an. Lagu-lagunya seperti Keagungan Tuhan, Tak Mungkin, Oh Di Mana, Karena Nenek, Semalam di Malaysia, Cinta Hampa dan Mengapa Harus Jumpa sampai sekarang masih sering didengar bahkan diaransemen ulang oleh penyanyi dan grup band baru.

Lantas Bagaimana dengan God Bless? God Bless adalah grup musik rock yang telah menjadi legenda di Indonesia. Dasawarsa 1970-an bisa dianggap sebagai tahun-tahun kejayaan mereka. Salah satu bukti nama besar mereka adalah sewaktu God Bless dipilih sebagai pembuka konser grup musik rock legendaris dunia, Deep Purple di Jakarta pada tahun 1975.

Lain lagi dengan grup band Bimbo. Band yang berdiri pada tahun 1967 ini lebih eksis pada tahun 80-an dengan lagu-lagunya yang bertemakan kritik sosial. Bahkan, pada tahun 2007, di usia band mereka yang senior mereka masih sempat menelorkan album baru. Diantaranya menampilkan karya terbaru Taufiq Ismail yang berpola kritik sosial yaitu Jual Beli dan Hitam Putih.

Nama lain yang disebut-sebut cukup fenomenal pada zaman dahulu adalah band A.KA. singkatan dari Apotik Kali Asin. Apotik tersebut milik orang tua Ucok Harahap, tempat mereka bermarkas dan latihan. Band yang berdiri di tahun 1967 ini digawangi oleh Ucok Harahap. Mereka lebih sering membawakan lagu rock dengan lirik berbahasa inggris.

pANBERS

Kalau kita melihat perkembangan band di tanah air yang pesat, tentunya kehadiran band-band baru di tanah air seperti Kerispatih, Dewa, D’masiv, Viera, Armada, ST 12, dan lainnya tak terlepas dari sejarah band legendaris di atas. Setidaknya mereka telah berusaha berkarya demi perkembangan band Indoneisa yang semakin membaik hingga hari ini. [fresti aldi/ panbers.com, wikipedia, kaskus dan berbagai sumber]

Dipublikasi di Artikel | 5 Komentar

Saya Menyukai Pasaraya Kala Pagi

Pasaraya memang menyimpan banyak cerita. Cerita tentang pedagang kaki lima, tentang macet, tentang kesembrautan. Terakhir, yang membuat saya terkadang jengkel adalah tentang jalan di Pasar yang sangat padat. Saya selalu kesulitan untuk berjalan dari arah Matahari menuju Permindo. Semua bertumpuk di jalan raya, seperti pedagang kaki lima, pejalan kaki hingga pengendara sepeda motor dan mobil.

Tapi pagi ini, saya sedikit lega. Sekitar pukul tujuh pagi, suasana masih damai dan lengang. Tak ada lalu lalang kendaraan, tak ada pedagang kaki lima yang bersorak-sorak berjualan di sepanjang jalan.

Ini pertama kali saya berjalan pagi-pagi di Pasaraya, hari ini saya berangkat dari rumah untuk menuju kampus. Biasanya saya hanya berangkat ke kampus dari kos saja. Sehingga jarang sekali saya melewati Pasar, apalagi pagi-pagi sekali.

Yang ada hanya jalanan lengang, bebarapa pejalan kaki seperti saya juga terasa nyaman berjalan. Di kiri kanan, terlihat toko yang masih tutup. Satu-satu ada yang baru membuka kedainya. Ada juga petugas kebersihan yang menjalankan tugasnya, menyapu sekitar jalanan.

Sepertinya saya menyukai Pasaraya kala pagi. Saya suka pasaraya yang lengang, saya menyukai pasaraya yag tak menghambat ketika saya harus berjalan melewati Pasaraya. Sebab, tak semua orang juga ke Pasar untuk membeli sesuatu. Seperti saya, melewati Pasar hanya untuk menunggu angkot yang lewat Pasaraya. Saya rasa, Pasaraya mesti direshufle. Pasaraya mesti direnovasi, saya ingin Pasaraya yang nyaman untuk dikunjungi seperti tadi pagi.

[Fakultas Dakwah, IAIN IB Padang/15.29]

Dipublikasi di Melihat Dunia | 1 Komentar

Mengintip Sejarah fotografi

Dunia fotografi, makin hari makin enak untuk disimak. Beberapa orang banyak yang mulai menjamah dunia fotografi. Dan, yang paling menarik lagi, tak hanya profresional saja yang menggeluti dunia fotografi. Beberapa remaja pun ambil bagian dalam dunia fotografi. Buktinya, banyak remaja yang mulai menenteng kamera dan jepret-jeprat sana sini, kemudian upload via facebook.

Menurut sejarah, fotografi sudah muncul jauh-jauh sebelum masehi. Dalam buku The History of Photography karya Alma Davenport, terbitan University of New Mexico Press tahun 1991, disebutkan bahwa pada abad ke-5 Sebelum Masehi (SM). Dijelaskan jika seorang pria yang bernama Mo Ti menemukan sebuah  fenomena ketika dinding ruangan yang gelap terdapat pinhole atau semacam lubang kecil. Dari lubang kecil tersebut akan tereflesikan pemandangan luar secara terbalik. Fenomena ini dikenal dengan fenomena camera obsura yang menjadi kamera yang pertama kali dipakai untuk menggambar dan memotret.

Secara artian fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu objek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya. Fotografi biasanya mengunakan kamera. Dari dulu hingga hari ini, perkembangan kamera sudah mengalami perkembangan yang pesat. Mulai dari zaman kamera obsura hingga zaman digital yang berkembang hari ini.

Foto Heliografi adalah alat pertama kali yang ditemukan dalam dunai fotografi. Tahun, 1826, Joseph Nicephore yang pertama kali menemukan foto heliografi. William Henry Fox Talbot menemukan proses positif/negatif yang disebut Tabotype. Tidak ketinggalan juga Andre Adolphe Eugene Disderi memperkenalkan rotating camera yang dapat merekam delapan citra berbeda dalam satu film. Setelah hasilnya dicetak di atas kertas albumen, citra tersebut dipotong menjadi delapan bagian terpisah dan direkatkan pada lembaran kartu. Kartu ini menjadi inspirasi penyebutan visiting card. Lantas tahun 1902, Arthur Korn membuat teknologi phototelegraphy yang mengubah citra menjadi sinyal yang dapat ditransmisikan melalui kabel. Wire-Photos digunakan luas di daratan Eropa pada tahun 1910 dan transmisi antarbenua dimulai sejak 1922. Sedangkan penggunaan Vest Pocket Kodak menggunakan 127 film ditemukan pada tahun 1912. Sedangkan negatif film pertama kali ditemukan oleh John Hendri Fox Talbot dari inggris. Negatif film tersebut di buat selama 40 detik dibawah terik matahari.

Selanjutnya, dunia fotografi seakan mendapat angin. Tahun 1920, Yasujiro Niwa menemukan peralatan untuk transmisi phototelegraphic melalui gelombang radio. Tiga tahun setelah itu, Doc Harold Edgerton menemukan xenon flash lamp dan strobe photography. Sedangkan tayangan berwarna Tayangan berwarna pertama dari Technicolor bertajuk Flowers and Trees dibuat oleh Disney pada tahun 1932. Sedangkan tahun 1936, Ihagee membuat Ihagee Kine Exakta 1. Kamera SLR 35mm yang pertama. Agfacolor membuat print film modern yang pertama dengan materi warna positif/negatif ditemukan tiga tahun berikutnya.

Kamera pun mengalami pekembangan teknologi. Citra digital ditemukan baru tahun 1957. Citra digital ini ditemukan oleh Russell Kirsh dengan menggunakan komputer.  Sedangkan, AGFA memperkenalkan kamera otomatis yang pertama, Optima pada tahun 1959. Bahkan hingga sekarang, jenis kamera pun sudah banyak yang ditemukan. Hingga hari ini, jenis kamera pun beragam, mulai dari merek, kualitas pengambilan gambar, hasil dengan berbagai merek dan bentuk. Tinggal pilih saja, sesuai dengan saku dan kebutuhan. Bahkan juga sekarang kita sering mengenal kamera dengan jenis digital dan analog.

Perbedaannya, kamera digital merekam dengan piksel sedangkan kamera analog merekam dengan film negatif berwarna, slide film negatif dan slide hitam putih. Perbedaan lainnya adalah kamera analog sudah hampir mampu menangkap seluruh warna yang dipantulkan oleh matahari dan kamera analog juga cukup sensitive. Sedangkan kamera digital belum mampu menangkap semua warna yang dipantulkan oleh matahari namun warna yang dihasilkan lebih kontras. Kamera digital juga kurang sensitif. (fresti aldi/ berbagai sumber)

 

 

 

Dipublikasi di Artikel | Meninggalkan komentar

Saya Pelupa

Umurku baru 20 tahun, tapi penyakit lupa sudah bersarang di benakku. Aku sering melupakan apa pun. Bahkan hal-hal yang sebenarnya tak harus kulupakan. Kacamata, handphone, buku dan semuanya lupa. Aku sering lupa dimana menaruhnya. Padahal baru beberapa menit saja aku menaruhnya.

Aku bahkan sering bermasalah mengingat apapun. Aku lupa nomor handphoneku sendiri. Ketika mengisi pulsa, seringkali aku melupakan beberapa angka nomor handphoneku.  Aku terpaksa melirik kontak nama yang ada di handphoneku. Masalah angka, aku memang sulit mengingatnya. Aku bahkan tak ingat jumlah uang dalam saku yang kubawa dari rumah saat berpergian.

Orang yang sudah lama tak berjumpa juga sering terlupakan. Bahkan, teman-teman SMA yang akhirnya ketemu lagi, aku lupa siapa namanya. Beberapa orang yang ketemui lagi juga sulit kutebak.

“Kayaknya pernah kenal, tapi dimana ya?”

Kalimat tersebut selalu kusebut dalam hati melihat orang yang rasanya-rasanya kukenal. Padahal baru beberapa bulan saja aku tak bertemu dengannya. Entalah, aku jadi sering melupakan apapun akhir-akhir ini. Mengingat jalan, mengingat nomor, mengingat nama. Bahkan berangkat kuliah, aku sering berbalik beberapa kali karena selalu ada-ada saja yang tertinggal.

Suatu saat, aku takut tak bisa mengingat apapun. Aku takut melupakan apapun. Aku takut jika suatu saat semua yang pernah kuingat terhapus begitu saja. Aku ingin mengingat semuanya. Aku tak ingin melupakan apa pun. Umurku masih 20 tahun, terlalu dini untuk menjadi pelupa. *

[ Asrama Jurnalistik, 03 April 2011 // 07.56]

Dipublikasi di Catatan | 2 Komentar

Cerita Sore di RTH Imambonjol

Ruang Taman Hijau (RTH) Imambonjol, sore ini menarik perhatian. Lapangannya dipenuhi oleh anak-anak yang saling berkejaran, berebut bola dan saling memasukkannya ke dalam gawang lawan.

Mereka berlari sesukanya, kadang-kadang sebuah sentakan dan teriakan terdengar dari pelatihnya. Sementara, di sisi RTH sudah banyak orang-orang yang memfokuskan pandangan ke lapangan hijau. Daya juga tak mau ketinggalan untuk ikut memfokuskan pandangan bersama banyak orang di sana.

Saya sudah mengambil posisi duduk di pinggir lapangan. Di lapangan hijau, lapangan sudah “diacak-acak” oleh anak-anak yang saya prediksi masih duduk di bangku sekolah dasar. Lapangan sudah dibagi menhadi beberapa bagian. Bebarapa bagian diisi dengan pertandingan sepakbola, beberapa bagian lagi ada yang sekedar pemanasan bersama pelatihnya.

Saya mengganti posisi ke tempat yang lebih padat. Dari percakapan orang-orang disamping saya, saya menyimpulkan jika mereka adalah orangtua anak-anal yang sedang berlari dilapangan hijau. Beberapa diantaranya tak mau memasuki lapangan. Ia asik berlari-lari di pinggir lapangan sesukanya. Perkiraan saya, anak yang berlari di pinggir lapangan tersebut baru menduduki kelas 1 atau 2 SD. Saya menyimpulkannya melihat postur tubuhnya.

Apakah maraknya pertandingan sepakbola di televisi memberikan efek terhadap orangtua memasukkan anaknya ke sekolah bola. Apakah ini hanya sekedar tren atau memang murni kemauan. Dan bagaimana dengan keinginan si anak? Apakah mereka ikhlas menjalani aktifitas tersebut atau hanya sekedar ikut-ikutan mengiyakan kata orangtuanya. Saya rasa tak ada yang bisa memaksakan bakat seoarang anak. Semua terletak pada keinginan masing-masing anak. Jika mereka senang, tak ada salahnya. Dan jika tidak senang, tak usah terlaku dipaksakan.

 

[Asrama Jurnalistik, 31 Maret 2011  // 20. 18]

Dipublikasi di Melihat Dunia | 1 Komentar

Elegi Musisi Jalanan

Melewati Toko Buku di Permindo, saya mendengar sesuara yang menarik perhatian saya. Tak terlalu asing lantunan kalimat yang dilontarkan beberapa remaja seusia saya yang duduk tak jauh dari tempat saya berdiri. Hanya saja, suara tersebut terasa berbeda karena sepotong lirik lagu tersebut dinyanyikan dengan peerpaduan alat musik sederhana, gitar dan gendang yang dimainkan apa adanya.

Rasanya tak ada yang istimewa dari lirik lagu yang saya dengar tersebut. Hanya saja, perasaan saya dibawa dalam kesederhanaan yang terpancar lewat alunan musik tersebut. Tak ada yang istimewa dari yang melantunkan potongan lirik lagu tersebut. Mereka bukan artis, bukan grup musik yang biasanya sering kita tonton di televisi. Mereka hanyalah anak yang sering menghuni jalanan. Tak hanya saya saja yang menikmati sepotong lirik lagu tersebut. Beberapa orang yang berada tak jauh dari saya berdiri juga ikut menggoyangkan kepala pertanda mereka menikmati lirik lagu tersebut.
Begitula para remaja penghuni jalanan tersebut mengekspresikan dirinya. Tanpa beban mereka menikmati jalanan yang mereka punya. Mereka hanya melakukan hal-hal yang kiranya membuat mereka senang, termasuk dengan bermain musik. Mereka tak terlalu memikirkan persoalan yang sebenarnya tengah menempel di otak mereka. Apakah itu masalah pendidikkan, masalah ekonomi, masalah keluarga dan sederetan masalah lainnya.
Mereka, teman-teman kita yang menghuni jalanan, sama halnya dengan kita. Mereka juga mempunyai impian, cita-cita dan harapan. Hanya saja, teman-teman kita tak seberuntung kita. Mereka hanya bisa menerima kenyataan mesti berkawan dengan jalanan. Berkawan dengan musik, berkawan dengan realitas. Musisi jalanan, semestinya mendapatkan perhatian khusus, dan entah dari siapa?

[Asrama Jurnalistik, 31 Maret 2011 // 19.59]

Dipublikasi di Melihat Dunia | Meninggalkan komentar

Pasaraya di Sore Hari

Sudah lama saya tak mengunjungi pasar sore-sore. Sore ini, secara tak sengaja saya melewati pasar, Bukan untuk membeli apa-apa. Tapi hanya sekedar untuk berlalu lalang. Agak aneh saja rasanya ketika harus berlalu lalang di pasar hari ini. Ada yang sedikit berubah.

Pasar yang dulu, tak seperti yang sekarang. Sekarang pasar sudah lebih sempit dari biasanya. Sedang berjalan, tiba-tiba bunyi klakson sepeda motor mengagetkan saya. Tak lama kemudian juga begitu. Tak hanya motor saja, beberapa mobil berkali-kali membunyikan klaksonnya.

Saya menjadi merasa bersalah. Sebab, sebagai pejalan kaki, saya sudah berjalan di bukan hak saya. Jujur saja, saya berjalan di badan jalan. Sehingga  tak heran jika lalu lalang motor dengan bunti klaksonnya memekakkan telinga saya.

Kalau boleh membela diri, saya akan bilang  jika jalani yang saya jalani ini sudah menjadi hak saya. Sebab,mau kemana lagi saya mesti berjalan? Pinggir jalan sudah dipakai pedagang untuk berjualan. Dari sepanjang jalan yang saya lalui, semua pinggir jalan sudah disesakki oleh pedagang kaki lima. Sehingga, rasanya tak salah jika saya mesti berjalan di jalan raya.

Otak saya berpikir agak keras. Saya mencoba menerka-nerka siapa yang mesti salah dalam kasus ini. Saya kah? Karena telah berjalan di jalan yang bukan semestinya hak saya? Pengendara kah? Sebab, jika dibilang, kawasan ini merupakan kawasan berjualan. Karena sudah tahu macet, mereka masih saja tetap mengotot lewat sini. Ataukah pedagang kaki lima yang sudah memakai pinggir jalanan untuk berjalan? Ataukah pemerintah melalui Dinas Pengelolaan Pasar yang tak memberikan solusi atas masalah ini. Jika ditarik kesimpulan, antara saya (pejalan kaki), pengendara, pedagang kaki lima dan pemerintah mempunyai hubungan yang koheren. Tinggal mencari titik terang atas masalah ini.

[Asrama Jurnalistik, 31 Maret 2011 // 19.36 ]

Dipublikasi di Melihat Dunia | Meninggalkan komentar